Written By Unknown on Thursday, July 5, 2012 | 3:05 AM
Siti,
seorang bocah yatim yang ditinggal wafat ayahnya sejak usia 2 tahun.
Kini Siti berumur 7 tahun. Sehari-hari sepulang sekolah Siti masih harus
berkeliling kampung menjajakan bakso. Karena... Ia masih anak-anak,
tentu belum bisa mendorong rombong bakso. Jadi bakso dan kuahnya
dimasukkan dalam termos nasi yang sebenarnya terlalu besar untuk anak
seusianya. Termos seukuran itu berisi kuah tentu sangat berat.
Tangan kanan menenteng termos, tangan kiri menenteng ember plastik
hitam berisi mangkok-mangkok, sendok kuah, dan peralatan lain. Dengan
terseok-seok menenteng beban seberat itu, Siti harus berjalan keluar
masuk kampung, terkadang jalanannya menanjak naik. Kalau ada pembeli,
Siti akan meracik baksonya di mangkok yang diletakkan di lantai. Maklum
ia tak punya meja. Terkadang jika ada anak yang membeli baksonya, Siti
ingin bisa ikut mencicipi. Tapi ia terpaksa hanya menelan ludah, menahan
keinginan itu. Setelah 4 jam berkeliling, ia mendapat upah 2000 perak
saja! Kalau baksonya tak habis, upahnya hanya Rp. 1000,- saja. Lembaran
seribuan lusuh berkali-kali digulung-gulungnya.
Sampai di
rumah, Siti tak mendapati siapapun. Ibunya jadi buruh mencangkul lumpur
di sawah milik orang lain. Tak setiap hari ia mendapat upah uang tunai.
Terkadang ia hanya dijanjikan jika kelak panenan berhasil ia akan
mendapatkan bagi hasilnya. Setiap hari kaki Ibunda Siti berlumur lumpur
sampai setinggi paha. Ia hanya bisa berharap kelak panenan benar-benar
berhasil agar bisa mendapat bayaran.
Hari itu Siti ingin bisa
makan kangkung. Ia pergi ke rumah tetangganya, mengetuk pintu dan
meminta ijin agar boleh mengambil kangkung. Meski sebenarnya Siti bisa
saja langsung memetiknya, tapi ia selalu ingat pesan Ibunya untuk selalu
minta ijin dulu pada pemiliknya. Setelah diijinkan, Siti langsung
berkubang di empang untuk memetik kangkung, sebatas kebutuhannya bersama
Ibunya. Petang hari Ibunya pulang. Siti menyerahkan 2000 perak yang
didapatnya. Ia bangga bisa membantu Ibunya. Lalu Ibunya memasak kangkung
hanya dengan garam. Berdua mereka makan di atas piring seng tua,
sepiring nasi tak penuh sepiring, dimakan berdua hanya dengan kangkung
dan garam. Bahkan ikan asin pun tak terbeli, kata Ibunda Siti.
Bayangkan, anak sekecil itu, pulang sekolah menenteng beban berat
jualan bakso keliling kampung, tiba di rumah tak ada makanan. Kondisi
rumahnya pun hanya sepetak ruangan berdinding kayu lapuk, atapnya bocor
sana-sini. Sama sekali tak layak disebut rumah. Dengan kondisi
kelelahan, dia kesepian sendiri menunggu Ibunya pulang hingga petang
hari.
Sering Siti mengatakan dirinya kangen ayahnya. Ketika
anak-anak lain di kampung mendapat kiriman uang dari ayah mereka yang
bekerja di kota, Siti suka bertanya kapan ia dapat kiriman. Tapi kini
Siti sudah paham bahwa ayahnya sudah wafat. Ia sering mengajak Ibunya ke
makam ayahnya, berdoa di sana. Makam ayahnya tak bernisan, tak ada uang
pembeli nisan. Hanya sebatang kelapa penanda itu makam ayah Siti.
Dengan rajin Siti menyapu sampah yang nyaris menutupi makam ayahnya.
Di sanalah Siti bersama Ibunya sering menangis sembari memanjatkan
doa. Dalam doanya Siti selalu memohon agar diberi kesehatan supaya bisa
tetap sekolah dan mengaji. Keinginan Siti sederhana saja: bisa beli
sepatu dan tas untuk dipakai sekolah sebab miliknya sudah rusak.
0 comments:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !